ORANG ASING - Cerpen Pikiran Rakyat



Begitu keluar gerbang kampus, saya melihat orang asing itu. Dia berjalan menyusuri trotoar. Langkahnya perlahan. Tatapannya kosong. Seperti ada yang sedang dipikirkannya. Entah yang keberapa kali saya melihatnya seperti itu. Kemarin, kemarinnya lagi, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, saya melihatnya seperti itu.

Awalnya saya tidak memperhatikannya. Saya merasa dia sama saja dengan orang-orang yang berlalu-lalang di pinggir jalan. Mungkin dia mau ke plaza, belanja, nonton film, atau sekedar jalan-jalan. Mungkin juga dia ada keperluan ke balai kota. Atau ke pusat perdagangan gadget. Atau sekedar jalan-jalan saja menyusuri suasana kota, mungkin dia punya kenangan dengan kota ini.

Tapi setelah berkali-kali melihatnya, berhari-hari, selalu seperti itu, saya jadi penasaran. Saya pun mengikutinya.

Jalanan semakin ramai. Mobil-mobil bagus bersaing dengan angkot tua. Tapi raja jalanan masih tetap motor yang mengalir deras, ratusan jumlahnya dalam sekian menit. Pagi mulai menggeliat. Pastinya pukul 07 lebih. Saya kuliah di perguruan tinggi agama, ada kuliah yang masuk pukul 05 pagi, bakda shalat subuh, sampai pukul 07.

Saya rasa orang asing itu sebenarnya bukan orang asing di kota ini. Berkali-kali dia disapa oleh orang yang mengenalnya. “Hai, mau ke mana?” tanya yang menyapa itu. “Hai, ke sana,” jawab orang asing itu. Lalu dia melangkah lagi. Matahari mulai naik. Hangat. Klakson kendaraan ramai di pertigaan.

Tapi bagi saya, dia tetap orang asing. Berapa lama pun tinggal di kota ini, dia tetap orang asing. Begitu perasaan saya. Ya, karena berjalannya, tatapan matanya, tarikan napasnya, raut wajahnya; selalu menyatakan begitu. Bukankah tidak sedikit orang yang terasing dengan dirinya sendiri sekalipun?

Orang asing itu naik ke jembatan penyeberangan. Langkahnya perlahan. Seperti tidak bertenaga. Tapi juga seperti yang melayang. Di tengah jembatan penyeberangan dia berhenti. Tatapannya memperhatikan keramaian di bawahnya. Begitu kosong. Matanya mungkin mengarah ke keramaian di bawah jembatan, tapi seperti yang tidak melihat apa-apa.

Seperti yang dituntun, saya pun mengikuti arah pandangannya. Jalanan semakin ramai. Pengemis dan pengamen semakin banyak. Seorang remaja yang tadi berjalan sambil merokok, minum kopi di belakang jembatan penyeberangan, lalu ganti kostum dan mengemis dengan kaki dilipat seolah buntung. Orang asing itu menarik napas panjang.

Saya terpaku di jarak yang cukup membuatnya tidak curiga. Ada perasaan aneh melihatnya. Dia adalah orang yang aneh di kota ini. Atau saya yang aneh, mengapa memperhatikan orang seperti dia? Selalu ada perasaan ingin bertanya. Atau sekedar menyapa. Tapi selalu tidak jadi.

Orang asing itu berjalan lagi. Kadang berhenti menatap gedung-gedung tinggi menjulang, perkantoran yang asri, tumpukan sampah, spanduk-spanduk promosi diri calon legislatif, mobil-mobil mewah, pengamen dan pengemis, got mampet, rombongan orang entah mau kemana.

“Mau ke mana?” tanya orang asing itu kepada salah seorang rombangan yang membawa banyak kertas bertulisan aneh itu.

“Demo,” jawab yang ditanya.

“Mendemo apa?”

“Mendemo pendemo yang minggu lalu demo di depan Gedung Demokrasi.”

Orang asing itu menatap rombongan pendemo itu tanpa berkedip. Orang asing itu pasti ingat, demo selalu ada, setiap hari, di  kota saya ini. Saat ini memang musimnya demo. Pemilu legislatif, pilkada, pilpres, memang musimnya demo. Setelah semuanya selesai, kesepakatan sudah disepakati para kandidat, musim demo pun berakhir. Seperti mangga, bila tidak pada musimnya, demo pun harganya mahal. Orang-orang segan untuk turun ke jalan. Meski sampah menumpuk di mana-mana, banyak orang berprilaku asal bersih di rumahnya sampah dibuangnya sembarang saja. Meski korupsi ketahuan di mana-mana, jadi rahasia umum saja. Meski musim sudah bertambah, musim hujan berarti musim banjir musim kemarau berarti musim kekurangan air.

Orang asing itu masih menatap para pendemo yang berombongan dengan keluarganya masing-masing. Anak-anak, ibu-ibu, kakek-nenek pun dibawanya serta. Saya tidak berani menerka apa yang dipikirkan orang asing itu. Tapi tatapannya memang khas. Tatapan yang membuat saya penasaran, tatapan yang membuat saya berkesimpulan bahwa dia terasing dengan kotanya. Selalu ada perasaan ingin bertanya di hati saya, memastikan apa yang dirasakan atau dipikirkannya. Atau sekedar menyapa. Tapi selalu tidak jadi.

Setelah para pendemo itu menghilang disembunyikan gemuruh kota, orang asing itu berjalan lagi. Langkahnya semakin lamban. Kadang menunduk. Kadang menatap takjub gedung-gedung di sekelilingnya. Kadang menatap miris pengemis, pengamen dan gelandangan yang semakin banyak. Di depan halaman balaikota yang rimbun dengan pepohonan tinggi orang asing itu berhenti. Lalu masuk ke dalamnya, menyusuri jantung kota yang tersisa.

Di sebuah bangku di bawah pohon flamboyan orang asing itu duduk. Mungkin dia lelah. Mungkin juga tertarik dengan koran yang tergeletak di sana. Entah koran siapa. Karena setelah diambilnya koran itu, ditatapnya lama sekali. Tatapan yang aneh, misterius, yang selalu membuat saya ingin menghampirinya dan bertanya. Tapi saya selalu tidak jadi, takut mengganggunya.

Hampir satu jam orang asing itu menatap koran. Tanpa berkedip. Tanpa ekspresi yang jelas. Selembar daun kering melayang dari atas pohon. Saya teringat adegan pembuka film Forest Gump yang sunyi dan misterius. Mungkin benar, nasib orang memang misterius. Eh, hidup ini memang misterius.

Selembar daun yang melayang itu akhirnya jatuh di koran yang sedang ditatap orang asing itu. Dia terkejut. Lalu disimpannya koran itu tergesa, dan dia pergi. Saya menghampiri kursi di bawah pohon flamboyan itu, duduk dan mengambil koran. Apa yang membuat orang asing itu menatap begitu aneh?

Sebuah foto hampir memenuhi setengah halaman pertama koran itu. Foto orang-orang berekspresi gembira. Sambil tertawa. Sambil mengacungkan tangan. Tanda damai, semangat, sapaan hangat. Orang-orang berjaket orange. Dua orang polisi di sampingnya kalah ekspresi, seperti tikus kehujanan. Judul berita di bawahnya juga kalah keren: 38 dari 40 anggota legislatif di kabupaten ini jadi tersangka korupsi pengadaan raskin, gaskin, karsekin (kartu sehat miskin), dsb.

Saya juga sebenarnya tertarik dengan berita koran aneh itu. Tapi orang asing itu sudah pergi jauh. Saya segera menyusulnya. Adzan duhur berkumandang. Orang asing itu shalat di masjid perkantoran. Para pegawai keluar dari kantor. Ada yang ke masjid ada yang pergi entah ke mana. Orang asing itu berhenti sejenak. “Wilayah Anti Korupsi”, “Wilayah Anti Gratifikasi”, terbaca plang di dalam kantor. Orang asing itu mengalihkan pandangan ke mobil-mobil mewah yang memenuhi halaman. Mungkin harganya di atas lima ratus juta rupiah, atau malah ada yang di atas satu miliar rupiah. Oh, ini perkantoran instansi yang dilaporkan pemerintah paling bersih dari korupsi.

Keluar masjid orang asing itu berjalan lagi. Di depan warung nasi sederhana belakang pasar tradisional dia berhenti. Para kuli gali sedang antri makan. Nasi menggunung, sayur kacang dan sepotong tempe. Orang asing itu ikut makan. “Kerja semakin susah sekarang. Di kota ya kaya gini, begitu dapat bayaran ditagih warung,” kata seorang buruh. “Di kampung, ikut kerja proyek Dana Desa, buruhnya cuma tiga puluh ribu sehari,” kata buruh lainnya. “Sing penting... makan enak,” kata remaja yang tadi mengemis sambil tertawa.

Orang asing itu terhenti makannya saat televisi 14 inci memberitakan sebuah kelalaian acara sekolah menewaskan beberapa orang muridnya. Tiga orang guru yang menjadi tersangka digelandang dengan kaki telanjang, kepalanya botak, menunduk, berurai airmata. Polisi yang mengawalnya berjalan gagah seperti super hero di film-film Amerika.

Sorenya orang asing itu berjalan lagi. Duduk di bangku taman. Tatapan matanya kosong. Sampai malam tiba. Menjelang tengah malam dia berjalan lagi. Jalanan sepi. Tukang nasi goreng berpapasan. Di sebuah rumah kost-kostan dia berhenti. Pintu gerbang didorongnya. Dia mengeluarkan kunci, membuka sebuah kamar. Tidur di kasur tipis. Mencoba tidur. Tapi sulit. Matanya selalu terbuka. Tepat seperti saya. Sudah tiga malam saya tidak bisa tidur. Karena itu kasur saya, kamar kost saya. ***

 

Bandung - Rancakalong, 8-9 Desember 2019 
Terbit di harian Pikiran Rakyat 2 September 2020

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "ORANG ASING - Cerpen Pikiran Rakyat"

Posting Komentar