LELAKI YANG MENCARI KEINDAHAN
Harian Rakyat Sultra, 26 September 2016
Orang asing itu memasuki gerbang
kota saat pagi mulai bangun. Matahari menyebarkan semburat merah di langit
timur. Lalu dedaunan yang masih menyimpan embun menyerap cahayanya menjadi
keindahan yang sulit diceritakan. Angin semilir menjadikan dedaunan seperti
jutaan berlian di baju keagungan.
Tapi bukan keindahan pagi itu yang
membuat penduduk kota keluar rumah dan terpana
di terasnya masing-masing. Keindahan pagi sudah biasa bagi mereka. Keindahan
pagi tertutup di mata dan hati mereka. Yang membuat penduduk kota itu terpaku
di tempat berdirinya adalah mata orang asing itu.
Sudah puluhan tahun, atau mungkin
sepanjang hidupnya, mereka tidak melihat dan merasakan keindahan begitu
cemerlang seperti keindahan di mata orang asing itu. Mata yang bulu-bulunya
panjang dan lentik menghiasi bening bola matanya yang bercahaya. Mata yang seperti
bibir selalu tersenyum. Mata yang pas ukuran, mancungnya, dan warnanya di wajah
orang asing itu. Orang asing yang begitu tampan. Orang asing yang seluruh
tubuhnya seperti perpaduan paling sempurna menurut selera kecantikan di penjuru
manapun di dunia.
Setelah orang asing itu lewat,
penduduk kota kecil itu mulai berbisik-bisik di antara mereka.
“Mata seperti itu, berkedipnya sanggup
merubah apapun di sekelilingnya menjadi pemandangan indah,” kata salah seorang
di antara mereka.
“Siapa yang bilang?” tanya yang
lain, penasaran.
“Kamu kan melihat sendiri begitu
indah matanya. Mata yang indah pastinya bisa melihat apapun menjadi indah
juga.”
Perbincangan yang didengar semakin
banyak orang itu terhenti. Semuanya melamun, membayangkan kembali begitu indah
mata orang asing itu. Dan bila mereka mempunyai mata seindah itu, tentu hidup
menjadi begitu berwarna, menyenangkan, menjadi begitu berbahagia.
**
Sementara banyak masyarakat yang
hidup ngos-ngosan, para pengurus pemerintahan kota ramai-ramai menyelamatkan
diri, menyelamatkan keluarga sendiri. Mereka mencari keuntungan dari proyek
apapun, dari biaya apapun. Sehingga saat krisis menuju puncaknya, mereka masih
bisa bersantai di villa-villa, berwisata ke luar negeri, shoping merk-merk
terkenal dunia.
Fasilitas umum rusak di mana-mana. Tapi
siapa yang perduli? Asal di rumah nyaman, tidak masalah di rumah tetangga
menumpuk sampah. Kepedulian terhadap orang lain, apalagi makhluk lain, semakin
menurun. Di antara mereka malah saling mengintip kelemahan. Lalu mereka saling
mencuri, saling menerkam. Lambat laun mereka semakin sering menirukan anjing,
menirukan kucing, menirukan ular, menirukan tikus. Wujud mereka memang masih
manusia. Tapi gejolak di dalam dadanya, siapa yang tahu gejolak di dalam dada?
Ketika krisis itu mereda dengan
pinjaman trilyunan dollar US dari negara-negara yang mengincar kekayaan alam
kota itu, perilaku penduduknya ternyata tidak berubah. Rumah-rumah dibangun
bagus. Tempat-tempat wisata ada di mana-mana. Fasilitas umum terus dibangun.
Tapi mereka tidak bisa lagi melihat keindahan. Itu rahasia umum. Rahasia di
antara mereka.
**
Sepi terasa menggigit ketika malam
tiba. Kota seperti wilayah mati. Sudah bertahun-tahun seperti itu. Kemudian
terdengar lolongan anjing. Lolongan yang diikuti oleh lolongan lainnya, puluhan
lolongan lainnya, ratusan lolongan lainnya, ribuan lolongan lainnya, jutaan
lolongan lainnya. Juga suara kucing. Kucing mengeong. Meong yang marah atau
bernapsu untuk memperebutkan apapun atau merebut apapun. Juga suara desis.
Desis yang licik, tidak perduli, membuat merinding bulu kuduk. Juga suara
cericit. Cericit pengerat yang licik, penuh dayatipu, penuh taktik mencuri. Sampai
subuh biasanya suara riuh seperti itu terdengar. Semuanya akan berhenti ketika
adzan sayup-sayup berkumandang dari surau kecil di pinggir kota.
Meski langit penuh dengan berbagai
lolongan, meong, desis dan cericit, tapi jalan-jalan di kota itu terasa sepi.
Satpam penjaga seperti mengunci diri di posnya masing-masing. Tidak ada seorang
pun yang berani berjalan-jalan atau menikmati malam. Lagipula, apa yang bisa
dinikmati dari malam? Penduduk kota itu sudah tidak bisa lagi melihat
keindahan. Begitu rahasianya.
Tapi malam itu memang berbeda.
Suara lolongan, meong, desis dan cericit, kemudian diikuti oleh tergesanya
orang-orang keluar rumah. Mereka tidak lagi merasa malu diketahui tetangganya,
saudaranya, atau kenalan lainnya, bahwa mereka biasa melolong, mengeong,
berdesis dan bercicit. Mereka berombongan memenuhi jalanan, berjalan menuju
batas kota.
Tujuan mereka adalah sebuah gubuk
kecil di pinggir kota. Gubuk kecil yang hanya diterangi lampu tempel dan cahaya
rembulan. Gubuk kecil yang di depannya ada taman bunga yang indah. Mawar, sedap
malam, herbras, dipagar bunga bakung yang cemerlang di bawah sinar rembulan.
Gubuk yang di dalamnya ada orang asing sedang beristirahat.
Taman bunga itu hancur ketika
rombongan penduduk kota itu datang. Rumpun bunga mawar dicabut dan dilemparkan.
Sedap malam, herbras, bakung, diinjak-injak. Pak walikota yang menjadi pemimpin
rombongan itu menggedor pintu. Orang asing yang sedang istirahat itu mengambil lampu
senter, lalu mengintip dari celah gorden. Tapi belum terlihat jelas siapa yang
bertamu, pintu itu jebol ditarik rombongan orang yang kemudian melolong,
mengeong, mendesis dan mencicit ramai sekali. Orang asing itu ditangkap. Lalu
matanya dicongkel menggunakan sendok.
**
Mata itu lalu dicopot dengan
perasaan geram. Pak sekda kemudian mencoba. Tapi hasilnya juga sama. Kemudian
pak kepala dinas, ibu kabid, ibu camat, pak lurah, dan semua penduduk kota itu
mencoba. Tapi hasilnya sama. Mata indah itu tidak bisa mengubah pemandangan
menjadi indah.
Pak walikota marah. Sepasang mata indah
orang asing itu dilemparkannya ke dalam periuk besar. Lalu digodok. Segala
bumbu dimasukan. Mereka membuat gulai. Gulai sepasang mata indah orang asing
itu. Menjelang subuh gulai itu matang. Lalu mereka makan bersama.
Berbakul-bakul nasi dibawa ke jalanan.
Pak walikota merasa puas. Semua
penduduk kota itu merasa puas. Gulai itu ternyata enak sekali. Gulai terenak
yang pernah mereka makan. Gulai yang tidak bisa dibandingkan enak dan gurihnya
dengan gulai anjing, gulai kucing, gulai ular, gulai tikus. Apalagi dengan
sekedar gulai sapi atau gulai domba.
Mereka saling mengacungkan jempol. Bersendawa.
Lalu melolong bersama. Mengeong bersama. Mendesis bersama. Mencicit bersama. Lalu
mereka tertidur. Mereka tidak tahu, kelak setelah mereka terbangun, penglihatan
mereka akan berubah. Mereka akan melihat pak walikota, pak sekda,
saudara-saudara mereka, kenalan-kenalan mereka, mereka sendiri, berubah wujud.
Badannya manusia. Tapi kepalanya ada yang jadi anjing. Ada yang jadi kucing.
Ada yang jadi ular. Ada yang jadi tikus.
Begitu legendanya.
**
Dan orang asing itu. Orang asing
yang terkejut itu. Kali ini tersenyum. Tersenyum di depan gubuk kecil itu.
Tersenyum melihat pemandangan begitu indahnya. Pemandangan terindah yang pernah
dirasakannya. Pemandangan terindah yang tidak bisa diungkapkan dengan
kata-kata. Juga dengan gambar dan warna. Dia merasa, tidak akan ada penyair atau
pelukis yang sanggup mengungkapkan keindahan seperti itu.
Orang asing itu sebenarnya salah
seorang dari penduduk kota itu. Konon, sebelum kota itu berubah, orang asing
itu mendapat bisikan dari dalam hatinya. Bisikan bahwa kota itu akan berubah.
Dia tidak mau ikut berubah. Maka atas bimbingan bisikan hatinya dia masuk ke
dalam gua. Hidup di dalam gua. Bertahun-tahun. Di dalam gua dia hanya berdoa.
Berdoa agar bisa melihat keindahan yang sesungguhnya. Keindahan yang hakiki.
Keindahan yang abadi.
Bertahun-tahun setelah menyepi,
hatinya membisiki agar dia memasuki kota yang lama ditinggalkannya. Kejadian
mengerikan itu lalu terjadi. Matanya dicongkel dengan sendok. Dan dia terpana.
Keindahan hakiki itu, keindahan abadi itu, terasa sampai ke seluruh pori
terkecil di dalam tubuhnya. Keindahan terindah itu, keindahan hakiki itu,
keindahan abadi itu, ternyata terlihat setelah tidak punya mata.
**
0 Response to "LELAKI YANG MENCARI KEINDAHAN"
Posting Komentar