SENJAKALA RUBRIK SASTRA DI MEDIA CETAK
Beberapa tahun belakangan ini dunia sastra,
khususnya cerpen yang banyak tayang di media-media cetak, sedikit terguncang.
Masalahnya, banyak media cetak yang berguguran alias tidak terbit lagi.
Media-media yang dulu berjaya seperti Suara Pembaruan, Suara Karya, majalah
Hai, Kartini, Annida, Ummi, sekarang tinggal nama. Padahal dulu contoh
media-media itu begitu bersemangat menayangkan cerpen-puisi. Juga termasuk
media-media besar yang oplahnya pernah sampai ratusan ribu eksemplar.
Selain yang berguguran, semakin banyak juga media
yang terang-terangan atau “nakal” tidak ngasih honor kepada para cerpenis.
Harian Suara Merdeka yang notabene koran terbesar di Jawa Tengah, ironisnya
sejak beberapa tahun lalu sudah tidak mampu membayar honor cerpenis. Dua hari
lalu (30-1-2020), akun facebook seorang teman penuh dengan komentar saat mengabarkan
tabloid Nova sekarang untuk rubrik cerpen “tidak berhonor” lagi.
Nova yang tabloid besar itu? Ya, begitulah
kenyataannya sekarang. Nova bekerjasama dengan Storial.co dalam penayang
cerpen. Artinya, cerpen yang sudah tayang di Storial ada kemungkinan muncul di
Nova. Tapi tabloid wanita ini tidak lagi membayar honor. Tinggal untuk urusan
honor, penulis dengan Storial bagaimana perjanjiannya. Apakah yang di
Storial-nya termasuk yang dibayar atau tidak. Bila termasuk yang masih gratis,
waduh kasihan juga penulisnya.
Itu yang termasuk terang-terangan. Memang ada juga
yang “nakal” tidak ngasih honor? Wow, banyak sekarang ini. Lihat linimasa para
pengarang (cerpenis atau penyair) yang masih aktif mengirim karyanya di media
cetak. Ada ungkapan ngeri dari mereka: pengarang
sekarang ini harus bisa merangkap jadi kolektor. Jadi, setelah karya
dimuat, menunggu sekian waktu, dan bila honor tidak kunjung tiba harus jadi
kolektor juga. Waduh, berabe juga kerja menulis di negeri ini ya. Belum harus
berpikir, banyak membaca karya orang lain, berimajinasi, berkarya yang
sebenarnya tidak gampang, eh... akhirnya harus jadi kolektor juga.
Majalah Esquere yang sangat menghargai penulis cerpen, akhirnya juga harus berhenti terbit.
Ngomong-ngomong, media mana yang termasuk “nakal”?
Saya cerita hanya berdasar pengalaman sendiri aja ya. Saya tidak berani
menceritakan pengalaman orang lain (alias “katanya”). Harian Suara Merdeka juga
termasuk “nakal”. Cerpen saya (judulnya: Tetangga) dimuat tahun 2015 lalu,
setelah menunggu beberapa bulan tidak ada juga honornya, saya mengirim email
konfirmasi. Tapi tidak pernah ada jawaban. Dan akhirnya tahu dari perbincangan
teman-teman di facebook, harian Suara Merdeka memang sudah “tidak mampu”
membayar honor cerpenis. Tentu saja disayangkan, mestinya ada pemberitahuan
khusus dari redaksi.
Media lainnya, Analisa (Medan) pernah memuat
beberapa cerpen remaja saya (3 atau 4 saya lupa), tapi honornya juga tidak
pernah datang. Koran sebesar Republika juga begitu. Radar Surabaya, majalah
Kartini, Radar Malang, Suara Ntb, Fajar Makasar, dan banyak lagi. Waduh, ngeri
dong dunia sastra di media cetak berkala seperti koran atau majalah?
Begitulah, saat ini media cetak berkala bisa
disebut sudah memasuki usia senja. Senjakala bagi media cetak (berkala). Banyak
media besar dan mapan pada jamannya sudah TIDAK TERBIT LAGI. Nah lho, bagaimana
nasib dunia literasi?
Di banyak daerah, dunia literasi malah semakin
banyak mengadakan acara. Kelompok-kelompok penulis, pencinta buku, masih
bersemangat saling berbagi ilmu menulis dan membaca. Tanpa pamrih. Instansi
pemerintah juga banyak yang ikut-ikutan mengadakan acara kepenulisan. Tapi,
apakah mereka sadar media tempat berkreasi semakin sempit?
Barangkali bagi pengarang papan atas dan senior
seperti Seno Gumira Adjidarma atau Budi Darma, tidaklah menjadi masalah. Tapi
bagi ratusan, mungkin juga ribuan, atau lebih, pencinta buku yang kemudian
mencoba menulis, media-media cetak daerah sangatlah berarti untuk meningkatkan
semangat dan percaya diri.
Setiap mendengar atau membaca ada lagi media cetak
yang “gugur” atau “tidak mampu ngasih honor”, saya sering teringat dengan Harian
Rakyat Sultra dan Majalah Mangle (berbahasa Sunda). Sejak beberapa tahun lalu,
Harian Rakyat Sultra bekerja sama dengan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara dalam
mengelola “rubrik sastra” di harian itu. Setiap puisi, cerpen dan essay yang
dimuat di harian itu “dikasih honor” oleh Kantor Bahasa.
Malajah Mangle, beberapa tahun lalu malah selain
memberikan honor bagi carpon (cerpen) yang pernah dimuat, juga memilih satu
carpon terpilih. Carpon Pinilih namanya. Pengarang yang carpon-nya terpilih
berhak mendapat hadiah Rp 1.5 jt. Hadiah seperti ini kemudian melebar kepada
rubrik Barakatak (tulisan humor dan pendek), dan juga PPM (Pangalaman Para
Mitra). Hadiah-hadiah ini berasal dari tokoh tertentu, semisal dekan sebuah
perguruan tinggi, pengusaha, atau siapapun.
Sudah waktunya semua pihak yang perduli dengan
media literasi, memperhatikan “merananya rubrik sastra” di sejumlah media cetak
berkala ini. Jangan sampai pemeo “pengarang harus merangkap jadi debt
collektor” semakin menyedihkan dan mengerikan. ***
0 Response to "SENJAKALA RUBRIK SASTRA DI MEDIA CETAK "
Posting Komentar