DI TAMAN KOTA
Seperti biasa, Jum’at pagi saya menghentikan
angkot di depan taman kota. Mestinya saya sudah di kantor sekarang. Tapi sudah
ijin dari kemarin kepada Adri, atasan yang sebenarnya sahabat saya sejak kecil.
Ijin bahwa kerja pagi saya diganti mulai bakda jum’atan saja.
Belum semenit saya duduk di bangku
taman, saya dikejutkan oleh seseorang yang menghampiri dan duduk di sebelah
saya.
“Halo, Bro. Apa kabar? Kebetulan
sekali kita bertemu di sini,” katanya sambil mengajak bersalaman.
“Alhamdulillah, baik,” jawab saya
sambil mengingat-ingat.
“Haha... pasti sibuk
bertanya-tanya: siapa saya? Ya, kan? Pasti lupa, kan? Ini ada tandanya.
Permainan masa kecil, main bola di sawah. Lalu mandi di sungai. Lalu....”
“Lalu ke kebun Wak Dullah?”
“Dan kamu mencuri mangga!”
Saya terkejut. Kok, yang diingatnya
mencuri mangga? Saya jadi ingat, bukan hanya mencuri mangga, tapi mencuri jeruk
juga, mencuri ikan juga, mencuri telur ayam juga... ah, ternyata begitu banyak
yang pernah saya curi tapi selalu menganggapnya itu kenakalan masa kecil.
“Makanya, jangan sok baik! Kok, susah
banget memaafkan orang yang nyata-nyata mau meminta maaf!”
“Maksudnya?”
“Saya lihat kamu masih hobi
demonstrasi. Hobi, kan? Kamu mendemo penghina agama. Lalu begitu heroik bilang,
yang tidak ikut demo itu kafir! Yang tidak sependapat bahwa itu penghina agama
adalah kafir! Sementara bertahun-tahun kamu melecehkan agamamu sendiri, kamu
diam saja. Kamu itu baru bisa membaca Al-Qur’an terbata-bata, tanpa membaca
artinya, tanpa membaca tafsirnya, tanpa tahu asbabunnuzulnya, tanpa merenungkan
isinya! Makanya kamu eksklusif, tidak bermasyarakat, tidak peduli lingkungan,
kamu lebih galak daripada anjing pemburu! Bila dipercaya kamu juga berhianat,
korupsi!”
Rasanya saya semakin mengenal orang
yang bicara seperti itu.
“Mestinya kamu bacakan lagi puisi
yang pernah kamu tulis pada masa kuliah saat kamu suka demo: Ke jalan mana lagi kita demonstrasi bila
yang mendemo diri sendiri?! Itu yang kamu butuhkan sekarang, mendemo diri
kamu sendiri!”
Saya suka berbincang dengan siapa
saja, termasuk dengan kenalan baru. Tapi dengan orang ini, diam-diam saya mulai
jengkel juga. Dia sepertinya tidak sadar apa yang diomongkannya. Mungkin dia
sendiri sebenarnya yang brengsek seperti itu! Saya ingin mendebatnya. Tapi
sebelum saya bicara, murotal Qur’an dibacakan dari masjid di seberang taman
kota.
“Ok, deh. Sepertinya sudah mau
jum’atan lagi. Saya pergi dulu, saya jum’atan di rumah. Assalamualaikum.”
Pulang jum’atan, di depan masjid,
saya melihat istri saya sedang menunggu.
“Maafkan saya sudah mengikuti Mas
sejak pagi. Saya heran waktu Pak Adri bilang Akang tidak pernah masuk kerja
setiap Jum’at pagi. Saya pikir Akang menemui... istri siri.”
Saya tersenyum kecut.
“Tapi Mas jangan seperti yang
bicara sendiri, senyum-senyum sendiri. Mas seperti yang tidak waras! Tadi, di
taman kota.”
Saya diam beberapa saat, lalu tersenyum dan bilang:
“Justru tadi itu saat-saat Mas merasa waras.” ***
Cerpen ini tayang di Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2019
0 Response to "DI TAMAN KOTA"
Posting Komentar