PAK SUTAR DAN SEEKOR KUCING
majalah Esquire, Juli 2017
Pak Sutar adalah orang kaya. Rumahnya ada lima. Rumah pertama ditempati
keluarganya, istri dan dua anaknya yang sudah remaja. Rumah kedua dan ketiga
dikontrakkan, karena tadinya juga dibeli dengan tujuan investasi. Rumah keempat
ditempati Empi, istri mudanya yang dinikahi secara siri. Rumah kelima
dikosongkan, sekedar ditengok oleh Mang Engkos dan Bik Erum, suami istri yang
bertugas membersihkan rumah itu setiap hari. Rumah kelima itulah yang biasa
dipakai istirahat oleh Pak Sutar saat sedang ingin sendirian.
Seperti sekarang, sudah dua hari Pak Sutar beristirahat di rumah
kosongnya. Ada masalah rumit yang sedang dihadapinya. Awalnya adalah kabar dari
Rudi, staf di kantornya. “Pak, saya mendengar kabar, bakal ada audit mendadak mengenai
proyek-proyek tahun ini,” kata Rudi. “Bila selamat proyek tahun ini,
tahun-tahun lalu tidak akan diaudit. Tapi bila ada indikasi penyelewengan,
proyek tahun-tahun sebelumnya juga bakal diaudit.”
Kabar itu yang membuat Pak Sutar gelisah. Menyesal bila sudah seperti
itu. Tahun lalu sebenarnya sudah terpikir untuk berhenti. Sudah waktunya untuk
bersih-bersih diri dari kelakuan seperti itu. Sudah kaya ini. Pemerintah kan
dari Pusat sedang mendengungkan clean
governement. Rapat-rapat atau acara yang diadakan instansi diusahakan
jangan dilakukan di hotél.
Tapi setiap mengajukan proyek, disetujui, selalu sayang bila dilepaskan
kepada pengusaha. Apalagi dari Pusat diharuskan menolak hadiah apapun dari
pengusaha.
“Rudi tahu siapa pengawasnya?” kata Pak Sutar waktu itu.
“Katanya dari Pusat. Gampang sebenarnya bila ingin tahu, Pak. Tinggal
tanya-tanya aja orang Pusat, tapi buat apa?”
“Tinggal ajak makan-makan, atau jalan-jalan seperti biasanya.”
“Sekarang tidak bisa seperti itu, Pak. Bila kita berlaku seperti itu,
bisa-bisa langsung dicurigai. Pusat sekarang sedang mencari kambing hitam dari banyak
perilaku korup instansi.”
Ya, dengan cara mengakali proyek seperti itu Pak Sutar bisa investasi di
kebun dan sawah, rumah, pom bensin, saham trading, juga membiayai Empi yang boros
dan selalu ingin up to date. Tapi Pak
Sutar tidak bisa melepaskan Empi. Selain punya anak yang sedang lucu-lucunya,
baru dua tahun, Empi cantik seperti pemain sinetron.
Terpikir oleh Pak Sutar, bila diaudit satu proyek, lalu dicari
perusahaannya, pasti ketahuan fiktifnya. Bila diaudit proyek lainnya, proyek
tahun-tahun yang lalu, pasti ketahuan caranya serupa. Sepertinya milyaran
rupiah yang dituduhkan kepadanya. Bila masuk ke pengadilan langsung jadi
tersangka, dipecat dari pns, investasi mungkin disita. Malunya pasti terbawa
sampai kapan pun, mungkin juga sengsara lagi, mungkin Empi akan kabur,
mungkin....
**
Bila melihat pemandangan seperti itu, kadang terpikir oleh Pak Sutar
untuk bertaubat. Dia ingat kembali waktu kuliah dia termasuk aktivis masjid.
Sholat lima waktu tidak pernah tertinggal. Hanya setelah kerja jadi pns, sholat
mulai tercecer, apalagi setelah sesekali mengakali keperluan kantor, dan
akhirnya ikut mengakali proyek. Sholat lima waktu hanya agar terlihat alim
saja, apalagi kemudian dia umrah dan menunaikan ibadah haji.
Saat mendengar adzan magrib, perasaan ingin bertaubat itu datang lagi.
Pak Sutar pun kemudian sholat. Selesai sholat lalu berdo’a.
“Ya Allah, saya rela rumah ini dijual, hasilnya dibagikan kepada
panti-panti asuhan, asal gelisah saya cepat sirna. Saya tidak akan melakukan
lagi perbuatan tercela mengakali proyek,” gumam Pak Sutar dalam do’anya.
**
Besoknya waktu Rudi mencegat di tempat parkir, Pak Sutar terkejut. “Pak,
barusan saya mendengar lagi kabar, audit mendadak itu tidak jadi hari ini,”
kata Rudi. “Auditnya ternyata acak. Yang kena audit dari Dinas kita adalah Bidang
Pendidikan Luar Sekolah.”
Entah Pak Sutar terkejut karena senang, entah terkejut karena ingat
do’anya. Pulang dari kantor masih ke rumah tempat istirahat itu. Dia merenung.
Do’a saya ternyata dikobul, Tuhan ternyata sayang kepada saya, gumam Pak Sutar.
Tapi menjual rumah ini dan hasilnya disedekahkan kepada panti-panti asuhan,
apakah tidak akan sayang? Rumah ini harganya tidak akan kurang dari sembilan
ratus juta rupiah. Harga beberapa tahu yang lalu itu. Kaya juga keterlaluan
bila mesti sedekah sebesar itu, gumamnya lagi.
Begitu yang ada di pikiran Pak Sutar. Tapi setiap mau dilupakan, do’a
itu muncul kembali. Hatinya tidak tenang bila nadar itu belum dilakukan.
Namanya juga gumam di dalam hati, janji kepada diri sendiri, bagaimana
melupakannya?
Saat sedang berpikir keras antara sayang bersedekah rumah dan merasa
berhutang itulah Pak Sutar melihat kucing di atap rumahnya, lalu ke balkon,
lalu melompat ke kaca nako yang terbuka. Pak Sutar tersenyum. Kucing itu
peliharaannya. Pak Sutar sendiri yang membelinya setahun yang lalu. Tadinya
kado buat ulang tahun anaknya, ternyata anak remajanya itu hanya senang
beberapa minggu kepada kucing itu. Seterusnya dibawa ke rumah tempat istirahat
itu, diurus oleh Mang Engkos. Pak Sutar lalu memanggil penunggu rumahnya itu.
“Mang, kucing yang berbulu kelabu itu kucing kita?” tanya Pak Sutar.
“Iya, kucing yang dulu dibawa Bapak itu,” jawab Mang Engkos. “Sama saya
sering dilepas, Pak. Kasihan tidak ada temannya.”
“Masukkan lagi ke kandang, Mang. Jangan dilepas lagi, ya!:
Pak Sutar lalu memasang iklan di koran: Dijual rumah, murah! Karena
embel-embel murahnya itu, hari itu dipasang iklan hari itu juga ada yang
datang.
“Inginnya berapa, Pak, rumah ini?” tanya seorang calon pembeli setelah
melihat-lihat sekeliling rumah.
“Rumah ini sebenarnya murah. Murah sekali. Bapak beruntung dan Bapak tidak
akan percaya awalnya,” kata Pak Sutar. “Harganya hanya lima juta rupiah.”
“Lima juta rupiah?” Calon pembeli itu terkejut. Beberapa saat dia tidak
mengedipkan penglihatannya, tidak percaya dengan pendengarannya.
“Iya, lima juta rupiah. Tapi yang membeli rumah ini, wajib membeli kucing
itu,” kata Pak Sutar sambil menunjuk kandang kucing. “Bagaimana tertarik?”
Calon pembeli rumah tersenyum. Dia cepat menduga, sepertinya ada
apa-apanya dengan harga kucing itu. Makanya dia bertanya begitu tenang, “Berapa
harga kucingnya?”
“Harga kucing tidak bisa ditawar, harganya sembilan ratus juta rupiah.”
Calon pembeli tertawa. Dia mengira Pak Sutar bercanda. Tapi setelah
beberapa kali Pak Sutar meyakinkan bahwa harganya harus seperti itu, calon
pembeli itu setuju. Ya, karena setelah dijumlah, harga rumah dan kucing itu
masih tetap lebih murah dibanding rumah-rumah lainnya di perumahan itu.
Besoknya transaksi jual-beli dilaksanakan di hadapan notaris. Pulang
dari notaris, Pak Sutar mampir ke panti asukan, lalu sedekah lima juta rupiah,
seharga rumahnya. Keluar dari panti asuhan Pak Sutar senyum-senyum. Pak Sutar
merasa dirinya pintar. Kata hatinya, hanya manusia pilihan yang bisa berkelit
dari situasi rumit. Meski di dalam hati, di dalam hatinya yang paling dalam, Pak
Sutar merasa bodoh lebih dari sebelumnya.
Di saku celana Pak Sutar ada buku tabungan yang saldonya sembilan ratus
juta rupiah, hasil menjual kucingnya. Waktu jari-jari tangannya memegang buku
tabungan, Pak Sutar tersenyum. Dia merasa tetap kaya. Tabungan ini tidak mesti
disedekahkaan karena hasil menjual kucing. Meski di dalam hatinya, di dalam
hatinya yang paling dalam, Pak Sutar merasa sengsara lebih dari sebelumnya. ***
0 Response to "PAK SUTAR DAN SEEKOR KUCING"
Posting Komentar