PLOT dan JALAN CERITA
Saya sebenarnya tidak begitu menyukai belajar menulis
dari teori. Saya membaca banyak teori menulis, tapi sepertinya hanya untuk
pengetahuan saja. Saat kemudian menulis, saya lebih senang memperhatikan
tulisan orang lain yang sudah ada. Untuk cerpen, misalnya memperhatikan
bagaimana cerpen-cerpen Seno Gumira Adjidarma, Putu Wijaya, Budi Darma, AA
Napis, Danarto, sampai angkatan ke sininya seperti Agus Noor, Afrizal Malna,
Indra Tranggono, Beni Setia, Jujur Prananto, Raudhal Tanjung Banua, Joni Ariadinata, Abidah El Khalieqy, Hermawan
Aksan, dan banyak lagi.
Tapi kemudian karena sering berinteraksi dengan
orang-orang yang mengaku lagi belajar menulis, saya tersadar bahwa gaya saya
belajar menulis itu tidak bisa diterapkan kepada semua orang. Ada orang yang
lebih suka membedah cerpen sampai detail, membuat outlane sebelum menulis. Maka
kemudian dibahaslah karakter, setting, plot dan jalan cerita, dan sebangsanya. Tadinya
hal seperti itu tidak terlalu saya bahas, karena memang bisa dibaca di
buku-buku panduan menulis.
Bila dipukul-rata, plot biasanya
diterjemahkan sebagai “jalan cerita”. Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar. Misalnya
seperti ini: Sinta menangis. Kalimat itu masih berupa berita. Bila ditambah:
Sinta menangis karena sakit hati. Itulah plot. Dari plot itu bisa dibikin
banyak jalan cerita. Misalnya:
(jalan cerita 1) Sinta tanpa sengaja melihat pacarnya berjalan-jalan dengan
gadis lain, (jalan cerita 2) Sinta sebenarnya kuat bila diejek miskin atau
tidak punya ini-itu oleh teman-temannya tapi waktu ibunya yang bekerja sebagai
pembantu diejek Sinta menangis juga, (jalan cerita 3) Sudah lama sebenarnya
Sinta protes kepada bapaknya yang kaya-raya karena korupsi tapi ketika bapaknya
ditangkap KPK dan Sinta ditertawakan teman-temannya Sinta menangis dan sakit
hati juga. Dan banyak lagi.
Tentu jalan cerita itu perlu lebih diperhalus lagi,
diperjelas lagi, dsb. Saya pernah membahas membuat “jalan cerita” dengan cara
menggabung-gabungkan peristiwa yang ada. Baca deh: ....
Jalan cerita tentu saja harus bertahap.
Tahapannya bisa seperti ini:
a.
Pengenalan
b.
Timbulnya konflik
c.
Konflik memuncak
d.
Klimaks
e.
Pemecahan soal
Tentu saja
urutan ini masih perlu didiskusikan. Karena perkembangan cerpen juga
memungkinkan konflik disimpan di urutan pertama, dsb. Tapi yang lebih penting dari itu: MEMULAI
MENULIS!
sumber foto: psikologikita.com
"...yang lebih penting dari itu: MEMULAI MENULIS!" Suka dengan ini. Saya seorang pemula berharap bisa belajar dari setiap karya yang saya baca^^
BalasHapusSemoga berhasil, Farah. Bagaimanapun, "memulai menulis" dan "bekerja keras" itu menentukan....
BalasHapus