SANG PENULIS
Pikiran Rakyat, tanggalnya kok tidak ada ya....
“Ajari aku menggunakan pena,” kata anak desa berkepala pitak itu. “Akan
kutulis gemercik air, udara dingin, kabut senja, sampai daun gugur.”
Para mahasiswa yang sedang ber-kkn (kuliah kerja nyata) mengisahkan
sejarah menulis, meniru-niru buku. Anak itu berkaca matanya ketika ingat begitu
banyak yang belum tercatat di desanya. Barisan pohon, kebiasaan penduduk,
suasana hujan, sunyi jengkrik; siapa yang pernah mengabadikannya? Atau tidak
ada yang sanggup mengabadikan nyeri selain hati?
Mulailah dia menghitung bintang, mengukur jarak, merasa-rasakan angin
menyisir sampai topan membadai. Sepuluh ribu pohon hilang tinggal tunggulnya,
sehektar sawah mengering setiap bulannya, sebelas orang penduduk mendadak
beringas cepat naik darah setiap harinya.
Di persimpangan jalan desa, anak itu dicegat serombongan orang. Wajahnya
galak. Seperti anjing mau menyalak. Tapi pimpinannya, yang berjas dan menenteng
notes, tersenyum ranum.
“Daripada menulis-nulis untuk catatan tidak berguna, lebih baik kerja
buat perusahaan kami. Honornya besar, bisa beli barang sepasar,” kata sang
pemimpin. Senyumnya selalu ranum. Si penulis tidak berkata-kata, karena kakinya
yang diinjak luka-luka.
Mulailah dia menulis keseharian para majikan. Daftar belanjaan nyonya,
kegiatan bapak, melaporkan kata-kata mereka, mengabarkan cuaca. Hidup penulis
itu mewah. Serba melimpah. Tapi dia lelah. Hidupnya gelisah. Ada yang mendesak
dituliskan, selain jumlah dan jarak dan batas. Masih ada nyeri, ada rindu, ada
senyap.
Ketika tulisannya tentang partai-partai yang merantai diketahui
majikannya, penulis itu diinterogasi. Apa maksud menulis itu? Dari siapa
mendapat data? Jaringannya sama siapa? Komuniskah? Atau sekedar taktik politik?
Penulis itu sebenarnya ingin menjawab. Tapi dia menyerah, karena kakinya
yang diinjak berdarah-darah. Rumahnya lalu digeladah. Buku-buku dan
catatan-catatannya dibakar oleh ribuan orang yang berkobar. Si penulis
melihatnya dari tempat pesakitan. Keningnya telah dicap: Teroris.
Dia menangis. Bukan karena nasibnya tragis. Akan dihukum mati. Tapi
catatannya habis. Jadi tidak akan ada yang tahu: di kantor-kantor, di
perusahaan-perusahaan, di rumah-rumah, di jalan-jalan, di hutan-hutan, di
lautan, berjuta tikus sedang berpesta. Akan menenggelamkan negara.****
0 Response to "SANG PENULIS"
Posting Komentar